Oleh: Susi Rio Panjaitan
Anak tidak hanya dapat terluka secara fisik, tetapi juga psikologis. Jika anak terluka secara psikologis, itu berarti anak mengalami luka batin, yang ia rasakan di hati dan pikirannya. Dalam kondisi ini anak merasa sakit hati, takut, malu, sedih mendalam, atau kehilangan rasa aman karena pengalaman negatif. Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan anak terluka, antara lain: Pertama: Anak bisa terluka hatinya ketika mengalami kekerasan fisik, seperti dipukul, dicubit, atau dihukum secara kasar; kekerasan verbal, seperti dimaki, dibanding-bandingkan atau direndahkan; kekerasan emosional, sepertidiabaikan, dipermalukan di depan orang lain, atau tidak pernah dipuji; dan kekerasan seksual, seperti pelecehan, eksploitasi, perlakuan yang tidak pantas atau diperkosa. Semua bentuk kekerasan ini membuat anak kehilangan rasa aman dan harga diri. Kedua: Anak sangat peka terhadap penerimaan. Ketika orang tua atau orang dewasa tidak menunjukkan kasih sayang, terlalu sibuk, atau mengabaikan kebutuhan emosionalnya, anak merasa tidak berharga dan tidak dicintai. Luka ini sering berlanjut hingga dewasa dalam bentuk rasa rendah diri atau sulit percaya pada orang lain. Ketiga: Anak yang sering menyaksikan pertengkaran orang tua, suasana rumah yang tegang, atau ancaman perceraian akan merasa cemas dan tidak aman. Walaupun bukan dirinya yang disalahkan, akan tetapi anak dapat merasa bersalah atau takut kehilangan figur yang ia cintai. Keempat: Ketika anak dituntut sempurna, selalu harus juara, tidak boleh gagal, atau harus memenuhi harapan orang tua, anak dapat merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan motivasi. Dari perlakuan ini ia belajar bahwa kasih sayang tergantung pada prestasi, bukan pada dirinya sendiri. Kelima: Bullying dari teman sebaya, baik secara langsung maupun digital, dapat meninggalkan luka mendalam pada anak, seperti rasa malu, takut, atau bahkan trauma. Selain itu, penolakan dari kelompok sosial seperti tidak diajak bermain, diejek karena penampilan, kemampuan, atau latar belakang, juga dapat merusak harga diri anak. Keenam: Kehilangan orang tua, perceraian orang tua, pindah sekolah, atau situasi hidup yang tidak stabil (misalnya karena kemiskinan, bencana, sakit panjang) bisa mengguncang rasa aman anak. Tanpa dukungan emosional yang cukup, pengalaman ini berpotensi menyebabkan anak mengalami luka batin. Ketujuh: Ketika anak menangis, marah, atau takut lalu orang dewasa berkata: “Ah, masa begitu saja nangis?” atau “Kamu lebay!”, maka anak belajar bahwa perasaannya tidak penting. Dalam jangka panjang, ia bisa kesulitan mengenali dan mengelola emosinya.
Luka psikologis yang terjadi pada anak tidak boleh dianggap sepele atau diabaikan karena luka psikologis yang terjadi pada individu pada masa kanak-kanak berdampak serius. Pertama: Anak yang terluka sering kesulitan mengenali dan mengekspresikan perasaannya dengan tepat; tidak mampu mengontrol emosinya, seperti marah, takut, atau sedih; dan sulit berempati terhadap orang lain. Akibatnya, anak menjadi mudah tersinggung, meledak-ledak, atau terlalu tertutup dan menekan emosinya. Kedua: Luka psikologis membuat anak meragukan nilai dirinya. Anak bisa berpikir: “Aku tidak cukup baik ” atau “Aku tidak pantas disayangi”. Dalam jangka panjang, ini bisa berkembang menjadi rasa rendah diri, minder, atau ketergantungan pada pujian orang lain untuk merasa berharga. Ketiga: Karena tidak tahu cara menyalurkan perasaan dengan sehat, anak akan bersikap agresif, suka melawan, atau menyakiti orang lain; menjadi penurut berlebihan karena takut dimarahi; atau menarik diri dan sulit bergaul. Bahkan, ada anak yang mencari perhatian dengan perilaku negatif agar diakui keberadaannya. Keempat: Anak yang psikologisnya terluka sulit fokus karena pikiran dan energinya terserap oleh rasa cemas atau takut. Akibatnya, prestasi belajar menurun, motivasi hilang, dan anak tampak tidak semangat sekolah. Kelima: Luka masa kecil yang tidak disembuhkan dapat terbawa hingga dewasa. Akibatnya, individu sulit memercayai orang lain atau membangun hubungan yang sehat, takut ditolak, takut kehilangan, mudah cemas, mudah depresi, perfeksionis, dan berisiko mengulangi pola pengasuhan yang sama kepada anaknya sendiri jika luka psikologisnya akibat pola asuh orang tuanya. Dengan kata lain, luka yang tidak dipulihkan bisa menjadi siklus antargenerasi. Keenam: Ada anak yang terluka merasa Tuhan tidak adil atau tidak peduli, terutama bila luka itu terjadi di lingkungan di mana ia seharusnya dilindungi, seperti keluarga atau sekolah. Anak bisa kehilangan rasa percaya diri dan kepercayaan kepada kasih Tuhan.
Anak yang terluka tidak boleh dihakimi, dibiarkan, atau dipaksa untuk “cepat sembuh”. Ia perlu ditemani. Pendampingan adalah salah satu kebutuhan utama bagi anak yang mengalami luka psikologis. Anak tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri, karena ia sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan di mana ia masih belajar memahami emosi, rasa takut, dan makna dari apa yang ia alami. Berikut ini beberapa cara yang efektif yang dapat dilakukan ketika menemani anak yang terluka. Pertama: Anak yang terluka tidak selalu membutuhkan banyak kata-kata. Ia butuh kehadiran yang hangat dan aman. Jadi, duduklah bersamanya dan dengarkanlah ia tanpa memotong ceritanya! Jangan langsung berkata: “Sudah, jangan sedih lagi” karena itu membuat perasaannya tidak divalidasi! Cukup katakan: “Kamu pasti sakit hati, ya”, atau “Boleh kok kamu merasa sedih”! Kata-kata sederhana ini memberi ruang bagi anak untuk memproses emosinya dengan aman. Kedua: Anak yang terluka biasanya kehilangan kepercayaan. Maka, penting bagi pendamping untuk konsisten (tidak marah atau pergi tiba-tiba), lembut dalam tutur dan sikap, dan memberi pelukan atau sentuhan penuh kasih jika anak nyaman. Rasa aman adalah pondasi pemulihan, tanpa itu anak tidak akan membuka diri. Ketiga: Banyak anak tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan mereka. Oleh karena itu, anak perlu dibantu dalam menyadari, mengenali, menamai dan menyebutkan emosinya. Misalnya dengan mengatakan: “Kamu marah karena temanmu mengejek kamu, ya?” atau “Kamu kecewa karena harapanmu tidak terpenuhi ya?” Saat anak belajar mengenali emosinya, ia perlahan belajar mengelola dan menyalurkannya dengan sehat. Keempat: Pemulihan luka psikologis tidak bisa dipaksa. Kadang anak butuh waktu lama untuk percaya lagi, tersenyum lagi, atau berbicara lagi. Yang penting adalah kita tetap hadir dan sabar menunggu. Konsistensi kasih membuat anak sadar: “Aku tidak sendirian.” Kelima: Ketika anak mulai tenang, ajak ia memahami bahwa setiap pengalaman, bahkan yang menyakitkan, bisa menjadi bagian dari proses pertumbuhan. Keenam: Jika luka sudah mendalam, misalnya: anak menunjukkan tanda trauma berat, mimpi buruk, atau perubahan perilaku ekstrem, pendampingan dari psikolog anak atau konselor profesional sangat dianjurkan. Langkah ini bukan tanda gagal, tetapi bentuk kasih yang bertanggung jawab. (SRP)
